Halaman

Jumat, 25 April 2014

Ternyata Aku Normal - Jangan Gegabah Memvonis Anak

Aden (bukan nama sebenarnya) selalu mendapatkan bully (gertakan, cacian dan cemoohan) dari lingkungannya. Di sekolah, ia sering mendapatkan bully dari teman-temannya. Mereka menilai Aden adalah anak blo’on, tidak normal, berpenampilan seperti anak DS (Down Syndrom). Bahkan, sebagian guru (mata pelajaran) terkadang tak terasa juga ikutan menertawakan dan meremehkannya sehingga sikap teman-temannya semakin menjadi-jadi karena mendapatkan “pembenaran dan pembolehan” dari guru-guru tersebut.
Di lingkungan rumah, Aden juga mendapatkan perlakuan yang tidak baik atau kurang pantas dari “Papa” dan Oka (“Abang”nya). Sejak kecil hingga sekarang (kelas 5 SD) ia merasa tidak mendapatkan kasih sayang yang tulus, terutama dari “Papa”nya. Berbeda dengan Oka, perlakuan diskrimianatif “Papa” cukup kentara dan terasa mendalam pada lubuk hati Aden. Apalagi bila dibanding-bandingkan dengan Oka yang berprestasi (menonjol) di sekolah, sementara Aden mirip anak o’on dan dinilai ber-“madesu” (masa depan suram).
Hingga pada suatu hari “Papa” kesal pada Aden. Dan, kata-kata amarahnya meluncur, tak terduga: “Kamu bukan anak Papa!”

Maka, ciutlah hati Aden. Sambil mendekam di dekapan pelukan “Mama”, ia hanya berkata: “Biarin, pokoknya aku anaknya Mama!”

Aden, hanyalah seorang anak kecil, masih amat membutuhkan kasih sayang dan perlindungan dari orangtua. Untungnya, naluri keibuan “Mama”nya masih tersisa untuk Aden.

Ya, Aden bukanlah anak “Papa-Mama”nya. Aden sebenarnya adalah cucu “Papa-Mama”nya. Mama sebenarnya telah diusir dari rumah (oleh Kakeknya), hingga ia menjadi korban perdagangan perempuan (Women Trafficking) dan lahirlah Aden yang kemudian diadopsi oleh Kakek-Neneknya sendiri sebagai anak.
Aden diadopsi sejak bayi. Meskipun tumbuh di keluarga berkecukupan (secara materi), tetapi Aden seperti memiliki kelainan dengan wajah mirip orang Mongol (mongolisme) yang dikenal dengan istilah Down Syndrome (DS). Sampai kelas 2 SD, Aden belum bisa melafalkan beberapa huruf dengan jelas. Hingga dokter (syaraf) mendiagnosa Aden memilki kelainan di otak dan perlu diterapi. Meskipun ada kemajuan, terapi dokter syaraf yang sudah berlangsung akhirnya dihentikan sejak “Mama”nya terjatuh dari kendaraan.
Di tengah kebingungan dan kegundahan, “Mama-Papa”nya meminta saya untuk menggali potensi dan bakat yang mungkin dimiliki Aden melalui analisis fingerprint (sidik jari). Bagaimana hasilnya?

Hasil analisis fingerprint Aden secara lengkapnya sudah diterima oleh “Mama-Papa”nya dan sudah didiskusikan. Di antara poin-poin pentingya adalah:


POTENSI KEAHLIAN DAN PENGETAHUAN - ADEN:

Kinestetik Sentuh
Aden: Memiliki kemampuan motorik halus. Peka terhadap sentuhan, perabaan, bebauan dan rasa. Memilki potensi karier sebagai Chef (ahli masak), terapis fisik, pengrajin, ahli bedah, peramu obat (farmasi), dll.
TANGGAPAN “MAMA”NYA:
Iya, Aden suka bikin mie instan sendiri (pas, tidak mentah ataupun kematangan/lembek). Aden bisa merasakan masakan enak atau tidak, seperti orang dewasa yang tahu masakan.
Logis Matematik
Memiliki kekuatan dalam persoalan logika dan analisis, termasuk menguraikan soal-soal hitungan dengan unsur logika. Selain berkaitan dengan hitungan angka, ia mampu membuat analisis logik untuk mencari hubungan sebab akibat dari hubungan antarinformasi.
TANGGAPAN “MAMA”NYA:
Tapi, kenapa nilai matematika Aden tidak menonjol, hanya rata-rata di kelas? Ini di luar dugaan....

JAWAB SAYA:
Ya, mungkin saja ada kendala dalam belajar atau masalah lainnya….
TANGGAPAN “MAMA”-NYA:
Iya, sih, Aden sudah tidak suka (matematika) duluan. Apalagi gurunya juga kurang apresiasi kepada Aden. Padahal, Aden sebenarnya mampu, hanya kalau berhitung ia suka tidak teliti.
TANGGAPAN ADEN:“Ma…, Aden normal, Aden bisa pintar!” teriak Aden senang, bersemangat dan tumbuh rasa percaya dirinya.

Kedua mata “Mama”nya berkaca-kaca, hampir meneteskan air mata ketika Aden bergembira dengan menyatakan dirinya ternyata normal. Tidak seperti sangkaan teman-temannya, sebagian gurunya dan bahkan “Papa”nya, yang menganggap aden tidak normal.
Musikal
Memiliki kepekaan dalam menyerap bunyi-bunyian menjadi unsur irama yang mengandung nada tertentu dalam bentuk melodi. Mudah membuat lirik lagu hanya dengan menghafal kata-kata yang disertai irama dan melodi. Selain itu, juga mudah belajar memainkan alat musik.
TANGGAPAN “MAMA”NYA:
Selama ini Aden les privat musik piano. Jari tangan kanan dan kirinya memang cukup lemes (cekatan/pandai) memainkan piano menurut guru privatnya. Aden kayaknya berbakat main piano, atau main alat musik lainnya.
Kinestetik Gerak
Memiliki kemampuan motorik kasar. Tangkas dan cekatan mengoordinasikan gerakan otot dalam melompat, berlari, atau mempraktekkan keterampilan fisik.
TANGGAPAN “MAMA”NYA:
Aden memang suka main ke luar rumah, bersepeda dan juga rajin shalat berjamaah di masjid. Dulu, Aden pernah takut di kolam renang. Tapi, sekarang ia suka pamit dan ‘ngeloyor’ sendiri ke kolam renang. Kuat berenangnya, dari pagi hingga tengah hari, tanpa ditemani.

"LEARNING COMMUNICATION CHARACTER" - ADEN:

"Learning communication characer" menunjukkan cara yang digunakan seseorang (Aden) untuk menyerap pengetahuan dan bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sekitar.

Aden memiliki: Cognitive Learning sebesar  80% dan Affective Learning sebesar 20%.

COGNITIVE LEARNER
Berinisiatif sendiri untuk menyerap pengetahuan. Agak egois, kuat dalam keyakinan dan pengetahuan diri. Terkadang perlu dibiarkan agar menyadari kesalahannya sendiri. Dimotivasi dengan adanya alasan yang jelas mengapa belajar, apa manfaat belajar, waktu yang jelas, dsb.

Sebaiknya tidak memaksakan aturan kaku untuknya. Ia ingin belajar sesuai inspirasina. Biarkan ia memecahkan masalah dan menjawab pertanyaan yang menantang. Dorong ia untuk menetapkan tujuan dan target-target pribadi, agar termotivasi. Hormati pendapat pribadinya karena ia ingin belajar dari kesalahannya sendiri.
TANGGAPAN “MAMA”NYA:
Aden memang cukup dewasa. Ketika ada masalah di sekolah tak jarang ia selesaikan sendiri, atau bersama gurunya. Ini menurut hasil laporan gurunya.
AFFECTIVE LEARNER
Belajar terbaik dengan adanya contoh; kemudian melakukan modikasi terhadap contoh tsb. Belajar melalui berbagai media (koran, buku pelajaran, film, majalah, dsb). Termotivasi dengan membaca biografi orang-orang terkenal.

Ia menghargai hubungan kekeluargaan/pertemanan dengan menggunakan perasaan, sehingga orang tua dan guru hendaknya berkomunikasi dengan perasaan lembut, agar anak ini semangat dalam belajar. Perlu (sering) mengatakan kepadanya betapa kita menghargainya, dan betapa pentingnya hubungan kita dengannya.
TANGGAPAN SAYA:
Masalahnya, Aden kurang mendapatkan penghargaan dan hubungan yang harmonis dengan teman-temannya. Terutama  penghargaan dan hubungan yang berkasih sayang dan penuh perasaan lembut  dari “Papa”nya. Padahal, Aden bisa menguasai keahlian atau pengetahuan tertentu sesuai potensi atau bakatnya, apabila dilatih sejak dini.

NOTE:
- Ini kisah nyata, yang disamarkan/disembunyikan nama dan lokasinya. Agar, semoga dapat menginspirasi kita semua!
- Setiap anak itu unik. Ia memiliki potensi untuk Sukses Akademik atapun Sukses Bakat
- Bila ada keingingan untuk menggali potensi atau bakat anak bisa menghubungi saya


Memaknai Hidup

Tahukah Anda, kisah seorang ibu sukses namun beliau merasa gagal?
Hidup ibu itu sebenarnya berkecukupan secara materi. Setiap bulan beliau mendapat uang pensiunan dari alamarhum suaminya, dan uang sewa (kost) dari menyewakan beberapa kamar di rumahnya. Di samping itu, walaupun tidak rutin setiap bulan, anak-anaknya juga suka memberi uang (santunan) kepadanya.
Hidup anak-anaknya juga lumayan mapan. Anak pertama, Wati (nama samaran), berpofesi sebagai perawat, hidup bahagia bersama suami dan anak-anaknya di luar kota. Anak kedua, Wawan (nama samaran), sebagai pengusaha juga hidup sejahtera bersama istri --wanita karier—dan anak-anaknya di luar kota pula.
Lalu mengapa beliau merasa gagal?
Perasaan gagal ibu itu muncul sesaat setelah meninggalnya sang suaminya. Setelah membaktikan dirinya –terutama—selama sebulan lebih dalam mengurus sang suami yang sakit keras, dan tak sadarkan diri. Dimana, selama itu beliau sendirian mengurus suaminya: memandikan, mencuci pakaian, memberi makan berupa asupan susu melalui selang (sonde) setiap tiga jam sekali, memberikan obat, menyuntikkan insulin, dan lain-lainnya.
Semula ada orang yang membantu –si mbak, sebagai PRT—namun ia kemudian minta pulang dulu, dan tak pernah kembali lagi. Mungkin saja, si mbak tidak betah karena pekerjaannya semakin berat dengan sakitnya sang bapak-majikannya. Maka, tergambarlah betapa semakin capek fisik dan mentalnya sang ibu! Meskipun demikian, sang ibu tetap mengurus sang suaminya dengan penuh khidmat dan ketulusan.
Dari sinilah, kemudian sang ibu merasakan kegagalannya. Terutama, pada saat suaminya tengah sakit dan tak berdaya seperti itu. Beliau benar-benar membutuhkan arti kehadiran anak-anaknya. Lebih-lebih bisa menanggung beban fisik dan psikis bersama.
Namun, kedua anaknya merasa sibuk. Wati –yang memiliki keterampilan sebagai perawat seharusnya berkesempatan mengabdikan dirinya—merasa sibuk dan berdalih tidak (berani) meninggalkan pekerjaannya karena takut dipecat dari instansinya. Demikian pula, Wawan dan istrinya juga merasa sibuk dengan pekerjaannya dan lebih merasa cukup dengan bantuan uangnya.
Sepeninggalnya sang suami, persoalan sang ibu tersebut kemudian berubah. Kecemasannya semakin membesar, siapakah yang akan merawat dirinya? Beliau tidak mungkin pindah rumah dan ikut anak-anaknya. Karena, di rumah mereka masing-masing sudah tinggal besan-besannya sehingga tidak mampu menampungnya dan terasa tidak nyaman. Padahal, sang ibu memiliki penyakit kambuhan, yaitu jantung dan darah tinggi.
Lantas, apa yang salah?

***


Pada umumnya anak dibentuk pola pikirnya (mindset) sejak kecil untuk meraih cita-citanya. Misalnya dengan pertanyaan: “Kalau sudah besar, ingin jadi apa, nak?”
Pada umumnya anak akan (terlatih dan terbiasa) menjawabnya dengan menyatakan cita-citanya seperti ingin jadi dokter, insinyur, pilot, penyanyi, artis, dan sebagainya. Jawaban-jawaban ini secara tidak sadar tertanam kuat di lubuk hatinya, bahkan bisa menjadi pola pikir (mindset) dan tujuan hidupnya. Masalahnya, cita-cita sebagai profesi keahlian/pekerjaan dengan tujuan hidup itu amat berbeda.
Ketika cita-citanya belum tercapai maka konsentrasi anak sepenuh hidupnya bisa jadi hanya belajar/kerja dan upaya-upaya untuk pencapaian cita-cita tersebut. Ketika sudah tercapai cita-citanya maka segala daya upaya juga difokuskan kepada pertahanan dan peningkatan karier di masa depan. Sehingga, sepanjang hidupnya ia berporos pada materi (money oriented) dan perhitungannya selalu logis matematik berdasarkan untung ruginya.

Apa jadinya?

Ketika kesuksesan demi kesuksesan (materi) telah diraih hingga menjadi hal biasa, dan kenikmatan demi kenikmatan (duniawi) telah dikenyam hingga membosankan, maka seseorang berupaya menciptakan cara-cara baru lainnya untuk mengecap kenikmatan ragawi. Hal ini nampak pada gerakan kaum hippies, generasi bunga (flower generation), dan sebagainya.
Hippie adalah sebuah kultur yang muncul di Amerika Serikat sekitar tahun pertengahan 1960-an. Mereka biasa mendengarkan musik psychedelic rock. Terkadang para hippie menggunakan narkoba dan ganja yang dapat memberikan mereka efek terbang sehingga merangsang imajinasi. Dalam sebuah imajinasi seseorang yang sedang dalam pengaruh narkoba biasanya terlihat hal-hal abstrak penuh warna-warni dan memberikan efek euphoria.
Ketika kegagalan demi kegagalan silih berganti dialami, kegetiran demi kegetiran terus dirasai hingga rasa pesimis, keluh kesah dan kebencian mendendam dalam hati dan penuh penyesalan; maka seseorang mudah berbuat nekad serta seringkali melanggar aturan dan kesusilaan.
Walhasil,  bila persoalan makna (tujuan) hidup ini diserahkan kepada kehendak dan pikiran manusia –bagaimana saja enaknya—maka manusia tidak akan menemukan jawabannya dan tersesat. Petualangan jiwa manusia dan kemampuan berpikirnya tidak akan menjangkau hakikat penciptaannya ataupun makna dari hidupnya. Karena yang menciptakannya bukanlah dirinya sendiri.
Allah Swt, Pencipta semesta alam ini, sungguh Maha Pengasih Lagi Penyayang. Agar tidak tersesat dan terkecoh dalam kehidupan ini, manusia diberitahu akan hakikat makna/tujuan hidupnya oleh Allah Swt. Bahwa, tujuan hidup manusia di dunia hanyalah mencari/meraih ridha-Nya. Menjadikan ridha Allah sebagai tujuan tertinggi yang harus dirindukan. Allah Swt berfirman (yang artinya):
Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya” (QS. Al-Fath: 29).
Adapun keridhaan Allah Swt tidak akan bisa diraih oleh seorang mukmin, kecuali ia berkomitmen penuh untuk melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menghindarkan diri dari segala larangan-Nya. Segala konsekuensi yang timbul dari komitmen dan pelaksanannya akan diabaikan, serta tidak akan menggelisahkan dan menggoyahkannya.

Memang, Islam telah mengajarkan kita untuk memaknai segala aspek kehidupan ini dengan ibadah. Akan tetapi, Islam juga mendorong kita untuk mengambil bagian dari dunia ini.
Dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. Al-Qashash: 77).
Betapapun demikian, Islam mensifati dunia ini sebagai sesuatu yang tidak lebih berharga di sisi Allah Swt untuk dijadikan tujuan akhir kehidupan atau sebagai puncak dari obsesi, cita-cita dan ambisi manusia. Dunia hanyalah titian tangga, dan sekadar jalan penghantar menuju akhirat.

Oleh karena itu, apalah artinya sebuah kesuksesan di bidang akademik/bakat dan bergelimang harta benda bila kemudian sang ibu tidak meridhai. Bukankah keridhaan orangtua adalah keridhaan Allah Swt?
Akankah kita menjadi “Wati” atau “Wawan” yang telah dimaknai hidupnya hingga dewasa dan mandiri oleh orangtuanya, namun enggan memaknai hidup orangtuanya walaupun tak seberapa lama?
Akankah kita mengulangi kesalahan-kesalahan dalam mendidik anak sehingga menjadikan putra-putri kita seperti para pencari kenikmatan ragawi semata?
          Na’udzubillahi min dzalik.

Terkadang kita di hadapkan pada pilihan yang amat sulit.  Sulit dalam mengurai suatu persoalan yang sebenarnya hingga menghasilkan solusi-solusi yang terbaiknya. Karena, untuk meraih keridhaan Allah Swt, kita harus mengetahui hakikat persoalannya dan status hukumnya (di sisi Allah Swt).

Terkadang juga sulit dalam menerima atau menanggung konsekuensi yang ditimbulkannya. Karena, boleh jadi kita harus meninggalkan kenikmatan, perhiasan dan gemerlap dunia atau menjadikannya jalan penghantar, bukan sebagai tujuan akhir. Allah Swt berfirman (yang artinya):
“Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluarga,  harta benda yang kamu usahakan, dan perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (daripada) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak akan memberi pertunjuk kepada orang-orang yang fasik”. (QS. At-Taubah: 24).
Wallahu a’lam bish-shawwab.

Sukses Akademik, Sukses Bakat dan Sukses Spiritual

Apakah anak Anda termasuk:
  • berprestasi disekolah?
  • tak antusias sekolah?
  • malas belajar?
  • punya hobi/bakat yang menonjol?
  • nakal (suka melanggar aturan)?
Sebaiknya Anda membaca artikel ini. Semoga bermanfaat!


A. Sukses Akademik

Bagaimana prestasi sekolah anak Anda?

Jawabannya, paling tidak ada tiga pilihan:
(1) Bagus/juara 10 besar,
(2) Normal/rata-rata, dan
(3) Gagal/di bawah normal.

Anda dapat memilih jawaban tersebut dengan tepat dan mudah berdasarkan nilai-nilai ulangan, rapor atau ujiannya. Berdasarkan nilai-nilai akademik itu pula para guru atau dosen umumnya dapat memutuskan seorang anak itu lulus atau tidak.

Anak yang tidak lulus sekolah bisa dikatakan sebagaianak gagal secara akademik. Adapun anak yang lulus (minimal hingga jenjang S1) bisa dibilang anak sukses secara akademik. Apalagi dengan ijazah dan bidang keilmuan yang diraihnya di waktu kuliah, ia bisa bekerja dengan prestasi bagus dan kariernya meningkat terus.
Orang-orang yang sukses akademik hingga sukses menekuni pekerjaan sesuai dengan bidang keilmuan akademiknya cukup banyak. Misalnya Prof. BJ Habibie (pakar pesawat dirgantara), Dr. Sri Mulyani (ekonom), Prof. Arief Rachman Hakim (pakar pendidikan), Prof. Yohanes Surya (pakar fisika dan matematika), dan semua dosen di berbagai perguruan tinggi bisa dikatakan orang-orang sukses secara akademik.

Lalu, kemanakah anak-anak yang gagal akademik itu?


B. Sukses Bakat

Seseorang yang termasuk Sukses Akademik pada hakikatnya ia juga sukses secara bakat. Karena, di bidang akademik itulah sebenarnya potensi, talenta atau bakatnya. Hanya saja, yang dimaksud Sukses Bakat di sini adalah sukses seseorang dalam menekuni bakatnya terutama di luar bidang akademiknya.

Memangnya ada?
Bahkan cukup banyak orang yang termasuk sukses bakat.Sebut saja Muhammad Ali (petinju legendaris), Susi Susanti (juara bulu tangkis olimpiade Barcelona), Chris John (petinju), Tukul  Arwana (komedian), Agnes Monica (penyanyi), Adi Bing Slamet (artis), Hee Ah Lee (pianis), Sylvester Stallone (artis), Thomas Edison (pendiri General Electric), Henry Ford (pendiri Ford Motor Co), Bill Gates (pendiri Microsoft), dan Steve Jobs (pendiri Apple Computer). Mereka hanyalah sebagian kecil orang yang termasuk tidak sukses akademik, tapi dengan minat dan bakatnya mereka telah berkarya dengan prestasi luar biasa.
Di samping itu, ada pula orang-orang termasuk Sukses Akademik sekaligus Sukses Bakat. Orang-orang yang termasuk kedua sukses tersebut adalah Andrea Hirata (novelis sukses dan berkarier di bidang akademiknya), Tompi (penyanyi sekaligus seorang dokter), Lula Kamal (artis sekaligus dokter), dan lain-lainnya.

Dengan demikian, jangan khawatir berlebihan bila Anda memiliki anak atau saudara yang gagal akademik. Bahkan, termasuk anak autis ataupun idiot sekalipun. Percayalah, tidak ada ciptaan Tuhan yang gagal produksi atau sia-sia. Insya Allah masih ada potensi/bakat yang bisa dikembangkan untuk sukses.
Hee Ah Lee (Korsel,9 Juli 1985), hanyalah seorang gadis cacat dengan IQ di bawah rata-rata. Tangan kanan dan kirinya masing-masing cuma ada dua jari. Sedangkan kakinya hanya sampai ke lutut. Bayangan kita, apa yang bisa dikerjakan oleh anak gadis tersebut, tentu saja tidak banyak, dan bahkan akan banyak tergantung –minta tolong—kepada orang lain. Tapi, tahukah Anda, apa prestasinya?
Berkat ibunya yang sabar dan ulet melatih Hee Ah Lee bermain piano, maka gadis yang hanya memiliki 4 (empat) jari tangan ini pada usia 13 tahun sudah mahir bermain piano. Dengan kemahirannya itu pula, ia telah melanglang buana, dan bermain piano di pentas-pentas musik dunia. Hebat, bukan?

C. Sukses Spiritual

Sukses Akademik ataupun Sukses Bakat akan melahirkan generasi profesional. Orang profesional setidak-tidaknya memiliki tiga kompetensi, yaitu keahlian/keterampilan (kafa’ah), etos kerja (himmah ) dan amanah (jujur dan bertanggung jawab). Ketiga kompetensi tersebut terlahir dari langkah pengembangan potensi yang tepat, dalam proses pembelajaran yang relatif panjang, dengan tempaan berbagai kesulitan dan tantangan, berbagai pengalaman keberhasilan dan kegagalan, serta penuh dengan komitmen.
Pencapaian Sukses Akademik dan Sukses Bakat memang terbilang tidak mudah. Namun, hasil atau timbal balik dari pencapaian itu juga besar manfaatnya. Orang-orang yang sukses –yang telah disebutkan tadi, misalnya—nampak jelas kehidupannya lebih baik, daripada orang-orang yang sepadan dengan mereka tapi tidak sukses (akademik dan bakat). Kesuksesan mereka juga bermanfaat bagi banyak orang,menginspirasi, dan memotivasi.
Akan tetapi, tidak selamanya Sukses Akademik dan Sukses Bakat membawa kehidupan yang lebih baik. Kesuksesan-kesuksesan tersebut memang telah mendatangkan banyak harta, penghargaan dan penghormatan. Di balik itu semua, terdapat potensi-potensi yang mendorong seseorang berbuat menyimpang (anomali) dari kehidupan yang benar. Setelah survive (tercukupi kebutuhan pokok), mereka menjadi mabuk kepayang, lalai dan melakukan sesuatu yang sia-sia dan bahkan terjerumus ke lembah nista. Tidak sedikit orang yang sukses akhirnya menyalahgunakan profesi atau jabatannya (penipuan dan korupsi, misalnya). Ada juga yang menghambur-hamburkan hartanya di meja perjudian, atau untuk mencari pelarian dan kesenangan lain seperti melakukan pergaulan (seks) bebas dan mengonsumsi narkoba hingga over dosis (bunuh diri?).
Whitney Houston, Amy Winehouse, MarilynMonroe, Michael Jackson, Jim Hendrix, Anna Nicole Smith, dan Elvis Presley adalah selebriti dunia yang meninggal secara tragis dan diduga karena over dosis minuman beralkohol dan obat-obatan. Karier mereka yang sensasional dan berakhir dengan narkoba sungguh disayangkan oleh para penggemarnya.
Begitu pula para pesepak bola dunia ternyata banyak juga yang kesandung masalah narkoba sehingga ada yang dihukum penjara, denda, dan berakhir profesinya (tidak boleh bermain di medan laga). Sebut saja seperti Diego Maradona (pemain legendaris Argentina), Mark Bosnich (kiper Chelsea dari Australia), Jonathan Bachini (pemain Brescia), dan Adrian mutu (pemain Chelsea).
Oleh karena itu, Sukses Akademik dan Sukses Bakat saja tidak cukup. Anak-anak kita juga harus Sukses Spiritual, agar kelak mereka dapat meraih kebahagiaan hidup yang hakiki. Pembelajaran Sukses Spiritual yang dimaksud di sini bukan sekadar membentuk pola jiwa (nafsiyah) anak sehingga mereka tekun beribadah dan berakhlak mulia semata. Selain itu, pola pikir anak juga diarahkan kepada profil pola pikir spiritual (aqliyah Islamiyah). Dengan demikian, potensi (akademik dan bakat) anak akan berkembang terarah dan lebih optimal untuk meraih kesuksesan yang hakiki, bermanfaat bagi dirinya dan orang lain, serta bahagia di dunia dan akhirat.
Lalu, bagaimanakah model pembelajaran yang tepat agar anak Sukses Akademik, Sukses Bakat, dan Sukses Spiritual?
Bagaimanakah cara mengenali atau menggali bakat, minat dan potensi anak yang efektif?
Insya Allah, kita akan diskusikan di waktu mendatang!